"PAK, Pak, keluarkan saya dari sini, pak polisi salah tangkap," kata Misbah, penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) di Jalan Keputih, Surabaya, saat wartawan berkunjung ke tempat itu. Misbah (21), warga Semarang, mengaku menjadi korban salah tangkap saat Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya merazia gelandangan dan pengemis di Stasiun Semut, Surabaya, sebelum bulan puasa.
Ryan (13), warga Tulungagung, Jatim, sudah tiga pekan mendekam di balik jeruji Liponsos. Anak yang seharusnya mengenyam pendidikan di bangku Sekelah Menengah Pertama (SMP) tersebut dinyatakan sebagai anak jalanan yang setiap harinya meminta-minta di jalan maupun tempat umum. "Setiap hari menjadi tukang semir sepatu di Stasiun Semut untuk membantu orang tua. Tapi saya tidak tahu kenapa saya ikut ditangkap," katanya. Ryan mengatakan, pekerjaan ibunya sebagai tukang jahit dan ayahnya sebagai satpam di salah satu perusahaan di Surabaya. Karena kondisi ekonomi dan utang yang mendera orang tuanya, akhirnya ia memutuskan menjadi tukang semir agar bisa meringankan beban orang tuanya.
Menurut Misbah, banyak warga yang bukan termasuk gelandangan dan pengemis dan anak jalanan ditangkap petugas ketika itu. Kebanyakan yang ditangkap petugas Satpol PP adalah para pekerja mulai dari pemulung, tukang semir sepatu, hingga kuli bangunan. Hal itulah yang membuat Misbah dan teman-temanya terpaksa menjadi penghuni Liponsos untuk sekian waktu lamanya.
Mereka yang terjaring dalam razia itu akan dibebaskan seminggu setelah lebaran. "Kami menyayangkan hal ini. Kalau saya dibebaskan setelah lebaran, berarti saya tidak bisa bertemu dengan keluarga saya di Semarang," kata Misbah yang setiap harinya menjadi pemulung. Menurut dia, pekerjaan tersebut terpaksa ditekuninya karena pada saat pertama kali datang ke Surabaya untuk mencari pekerjaan, ia kecopetan di Stasiun Semut. "Dompet dan tas saya semua dicopet, jadinya saya terpaksa menjadi pemulung," katanya dari balik jeruji Liponsos.
Hal yang sama juga dialami Kusnin (51), warga Blora, Jateng, yang mengaku bahwa ia menjadi korban salah tangkap. "Saya ditangkap saat pulang kerja sebagai kuli batu di daerah Medokan," katanya. Kusnin mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk melawan sekalipun. Sebagai manusia, ia cuma pasrah dengan kondisi tersebut. Ia berharap agar ada hikmah di bulan Ramadhan kali ini.
Kepala Satpol PP Pemkot Surabaya Utomo mengatakan, razia gelandangan dan anak jalanan sudah sesuai prosedur. "Kalau salah tangkap tidak mungkin, buktinya mereka tidak punya KTP," katanya. Kepala Lingkungan Liponsos Sri Supatmi membenarkan bahwa beberapa ada beberapa orang yang dibawa ke tempat itu kemudian dilepas kembali karena orang itu tidak terbukti sebagai gelandangan atau pun anak jalanan. "Ada beberapa orang yang kita lepaskan. Mereka terbukti sebagai kuli bangunan," katanya. Meski dalam penampungan, mereka yang berada di Liponsos mulai dari gelandangan, pengemis, anak jalanan, pekerja seks komersial tetap menjalankan ibadah puasa dan ibadah sunnah lainya, seperti shalat tarawih, tadarus Alquran, dan iktikaf. "Saya tetap menjalankan ibadah puasa, ini kewajiban semua umat muslim," kata Amir, usai mengambil air wudlu di mushala yang berada dikawasan Liponsos.
Selain menjalankan ibadah puasa, mereka juga menjalankan ibadah sunnah lainya. Bahkan mereka juga membentuk kelompok pengajian usai shalat tarawih. "Kami biasanya bergantian membaca Alquran," katanya. Namun, tidak semua penghuni Liponsos menjalankan ibadah puasa dengan rutin. Seorang pegawai Liponsos menyebutkan kebanyakan mereka yang tidak puasa adalah mereka yang berpenyakit jiwa dan para gelandangan dan pengemis.
Kepala Liponsos Keputih Sri Supatmi mengatakan, kapasitas hunian di Liponsos seharusnya hanya 250 orang, namun saat ini penghuninya mencapai 603 orang. "Ini sudah turun, jika dibandingkan kemarin (sebelum Ramadhan) mencapai 700 orang. Tapi tidak menutup kemungkinan menjelang lebaran akan banyak lagi," katanya. Menurut dia, banyaknya gelandangan dan pengemis dari luar kota yang datang ke Surabaya setiap menjelang Lebaran mengakibatkan penghuni di Liponsos menjadi penuh sesak. "Mereka yang dibawa ke Liponsos untuk mendapat pembinaan dan pengarahan," katanya. Namun persoalan yang ada sejak dahulu hingga sekarang ini, kata dia, penghuni di Liponsos selalu melebihi kemampuan tempat itu. Banyaknya penghuni di Liponsos tersebut, tidak diimbangi dengan jumlah petugas keamanan, sehingga pernah ada sejumlah penghuni kabur dari tempat penampungan.
Untuk mengantisipasi hal itu, kata dia, pihaknya merasa dibantu oleh Dinas kependudukan Kota Surabaya yang sudah tiga kali memulangkan mereka yang ditampung di tempat itu. "Instruksi Wali Kota Surabaya agar mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing setelah Lebaran tahun ini," katanya.
Source : kompas.com
0 comments:
Post a Comment